Dalam artikel Part 1 sebelumnya, pakar kesehatan ikan dari Universitas Diponegoro, Prof. Slamet Budi Prayitno menjelaskan bagaimana bakteri Streptococcus, sebagai penyebab penyakit Streptococcosis pada ikan nila, menyerang ikan secara perlahan dan kerap membuat kerugian bagi para pembudidaya di saat ikan sudah berukuran besar.
Menurut Budi, ikan nila yang sudah parah terinfeksi bakteri Streptococcus sulit ditanggulangi untuk kembali sehat. Sebab menurutnya, penanggulangan penyakit pada ikan tidak begitu efektif karena karakternya berbeda dengan hewan ternak terestrial. Jika pada hewan ternak seperti ayam, kambing, atau sapi, hewan yang terserang penyakit mudah dikenali dan relatif mudah diobati satu persatu. Sementara pada ikan, tidak memungkinkan untuk mengenali satu per satu ikan sakit. Sebab, meski misalnya nampak ada satu ekor yang sakit, sebetulnya 5 – 10 persen ikan lainnya sudah terinfeksi meski belum ada tanda-tanda sakit.
Budi mengatakan, “misal dalam satu kolam ikan sakit dan ikan sehat diobati semua, jika dosis rendah ikan gak bisa sembuh malahan bakterinya gak mati dan jadi resisten.” Sementara jika dosisnya tinggi, biaya pengobatan jadi semakin mahal. Sementara ikan masih mungkin tidak sembuh dan bakteri tetap jadi resisten.
Oleh karenanya, langkah paling konkret yang bisa dilakukan oleh pembudidaya dalam menjaga kesehatan ikan adalah melalui pencegahan sejak persiapan budidaya. Sedikitnya ada 3 langkah utama dalam pencegahan penyakit bagi ikan nila. Antara lain memilih benur berkualitas, menerapkan biosekuriti, dan menjaga kualitas air.
Memilih Benih Berkualitas
Kualitas benih menjadi salah satu syarat utama dalam melakukan pencegahan penyakit. Menurut Budi, benih berkualitas bisa mendongkrak keberhasilan budidaya sekitar 20 persen. Secara kasat mata, benih berkualitas dapat diketahui dari beberapa ciri seperti ukuran yang seragam, memiliki bentuk yang proporsional dan tidak ada abnormalitas, responsif terhadap suatu kejutan, serta berasal dari hatchery atau unit pembenihan rakyat (UPR) yang kredibel.
Pembenih yang sudah terpercaya biasanya akan memberikan jaminan garansi, jika tidak lama setelah pembelian banyak ikan mati. Hal ini tentu sebagai bentuk kepercayaan diri dari para hatchery jika benih yang dihasilkannya memang berkualitas. Pembenih seperti ini juga biasanya sudah tersertifikasi. “Syukur-syukur dari hatchery yang sudah menjalankan CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik),” ujarnya
Dalam hal memilih benih dan hatchery ini, Budi juga memaparkan fakta unik yang bisa menjadi pertimbangan pembudidaya sebelum membeli benih. Menurutnya, setiap hatchery yang bagus tidak selalu mulus memproduksi benih berkualitas sepanjang tahun. Ada waktu-waktu tertentu dimana kualitas benih yang dihasilkan tidak sebagus biasanya. Dan waktu yang “apes” itu bisanya berbeda antara satu hatchery dengan yang lainnya.
“Karena di Indonesia itu ada posisi, hatchery pada musim kemarau jelek, ada. Pada musim hujan jelek juga ada. Jadi liat trennya kapan hatchery itu jelek, dan bisa beli (benih) di tempat lain,” ujar Budi.
Menerapkan Biosekuriti
Langkah preventif selanjutnya agar ikan nila tidak terserang penyakit adalah penerapan biosekuriti. Secara sederhana, biosekuriti bisa diartikan sebagai upaya meminimalisir masuknya patogen dari berbagai sumber, baik dari benda hidup maupun benda mati.
Berikut beberapa langkah biosekuriti dalam budidaya ikan nila yang dianjurkan penasehat INFHEM tersebut:
- Menjaga kualitas pakan dan nutrisi untuk ikan
- Menurunkan kepadatan
- Membatasi orang dan hewan masuk lingkungan budidaya
- Selalu mengamati perubahan air dan tingkah laku ikan
- Melakukan desinfeksi terhadap unit budidaya sebelum dan sesudah pemeliharan ikan
- Menerapkan sanitasi dan higienitas pada alat dan personal
- Melakukan pengecekan status kesehatan ikan secara rutin
Dari beberapa poin tersebut, Budi memberikan penekanan pada aspek pakan dan kepadatan. Pada aspek pakan, selain soal kualitas nutrisinya, perlu diperhatikan juga kualitas fisiknya. Budi mewanti-wanti agar pembudidaya tidak menggunakan pakan yang sudah berjamur. Apalagi pakannya tidak higienis.
Sementara untuk poin penurunan kepadatan, langkah preventif ini disesuaikan dengan daya dukung kolam setiap siklusnya. Boleh jadi pada siklus ini bagus dengan kepadatan tertentu, siklus berikutnya produksi menurun meski dengan kepadatan yang sama. Hal ini sangat mungkin karena daya dukung kolam sudah menurun, sehingga perlu dicoba dengan langkah penurunan kepadatan. “Jangan segan menurunkan kepadatan, ikan yang sudah fingerling (yang terlanjur ditebar) bisa dilempar saja ke pasar (dijual),” ujarnya.
Menjaga Kualitas Air
Langkah pencegahan terhadap penyakit Streptococcosis selanjutnya adalah dengan menjaga kualitas air sesuai dengan kondisi ideal bagi ikan nila, atau paling tidak mendekatinya. Budi yakini bahwa sebagian besar pembudidaya sudah sangat paham dan banyak yang melakukannya.
Berikut beberapa parameter kualitas air yang baik untuk ikan nila yang direkomendasikannya:
- Kelarutan oksigen (dissolved oxygen/DO) minimal 2,5 ppm
- Suhu pada kisaran 25 – 29 derajat Celcius
- Tingkat keasaman atau pH 6,8 – 4,4
- Salinitas 5 – 10 ppt untuk nila salin
- Pergantian air 5 – 10 persen setiap hari
Setiap langkah pencegahan tersebut meningkatkan peluang keberhasilan budidaya, sehingga semakin banyak langkah preventif yang dilakukan maka peluang keberhasilan budidaya akan semakin besar. Sementara soal biaya tambahan yang diperlukan dalam berbagai aktivitas, Budi menaksir biayanya sekitar 10 – 15 persen dari total biaya produksi. Biaya tersebut tentunya bisa dijustifikasi dari peluang keberhasilan yang juga turut meningkat. Dengan tambahan biaya itu, kata budi “Kita bisa meningkatkan SR (survival rate) 20 – 30 persen.” Dan itu menurutnya cukup menguntungkan.
Vaksinasi
Selain langkah-langkah pencegahan pada tiga aspek di atas, ada satu strategi pencegahan penyakit Streptococcosis yang juga bisa dilakukan, yaitu vaksinasi benih. Meski secara ilmiah vaksinasi terbukti bisa meningkatkan kekebalan tubuh, tetapi penggunaannya sendiri pada ikan nila masih terbilang jarang. Banyak faktor yang mempengaruhi masih minimnya penggunaan vaksin di kalangan pembudidaya, mulai dari ketersediaan, harga, hingga kepraktisan aplikasinya. Hal ini bisa menjadi peluang bagi pihak swasta, terutama yang bergerak di bidang kesehatan ikan maupun hewan, untuk menghasilkan vaksin yang murah dan mudah diaplikasikan di lapangan. AB