Isu kesejahteraan hewan belakangan santer digaungkan oleh berbagai kalangan di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Padahal untuk urusan satu ini, Indonesia sendiri telah memasukkannya dalam Undang-undang No. 14 tahun 2014 juncto UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lalu diperjelas posisinya dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.
Pada PP tersebut dijelaskan bahwa kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Kedua aturan tersebut memuat pengertian yang sama.
Pengertian soal kesejahteraan hewan ini berkembang luas di masyarakat saat ini. Uni Eropa sendiri telah menggaungkan isu ini selama lebih dari 40 tahun yakni sejak 1976 melalui Traktat Lisbon. Dalam perjalanannya pada 2009, para negara Uni Eropa memberlakukan paksa aturan tersebut di negara mereka. Setidaknya ada lima poin dalam kesejahteraan hewan yakni, bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, bebas dalam mengekspresikan perilaku normal, bebas dari takut dan hal yang membuat stres.
Lalu, bagaimana sejatinya kesejahteraan ini diterapkan? Banyak peternak yang menerjemahkan kesejahteraan hewan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Tak terkecuali Prof. Ali Agus – Guru Besar Fakultas Peternakan UGM yang sejak 5 tahun lalu berkutat dengan penelitian tentang ayam petelur. Kepada pakanpabrik.com, Ali mengaku awalnya penelitian yang dilakoninya hanya menghasilkan telur fungsional saja, tanpa memperhatikan hal lainnya.
Namun, dalam perjalanan pihaknya merasa sayang apabila hanya memproduksi telur tanpa ada nilai tambah selain nutrisi yang jelas ditingkatkan. Mengamati tren dunia yang ada, Ali tertantang untuk menerapkan pola pemeliharaan free range pada ayam layer yang diternakkan. “Negara-negara maju mengkomunikasikan tentang tren permintaan produk-produk peternakan yang memperhatikan kesejahteraan hewan atau animal welfare. Salah satunya permintaan telur. Di Indonesia saya lihat belum banyak orang peduli tentang itu,” ujar Ali.
Tanpa Kandang Baterai
Ada tiga kelas kesejahteraan hewan di ayam petelur secara umum yang dapat disertifikasi sebagaimana dijelaskan oleh Arya Khoirul Hammam, Direktur PT. Agromix Lestari Group kepada pakanpabrik.com. Pertama, adalah cage free – bebas kandang baterai. Ayam masih dalam kandang atau housing seperti closed house, tetapi tidak dalam baterai lagi. “Di sana tetap difasilitasi dengan tempat bertengger dan tempat bertelur,” terang Arya.
Kedua, ada free range – kandang umbaran. Di mana ayam memiliki akses ke area luar kandang agar bisa berjemur atau sekedar mandi tanah. Bedanya, pada cage free ayam tidak bisa mandi tanah dan tidak terkena matahari secara langsung. Sementara di free range, ayam memiliki akses ke area luar sehingga bisa mengekspresikan perilaku alaminya lebih banyak, seperti menggaruk tanah, mematuk-matuk, dan sebagainya.
Ketiga, adalah pasteurize. Arya mengklaim, opsi ini adalah opsi yang paling sulit dan mahal. Lantaran ayam benar-benar dipelihara dalam suatu lahan umbaran yang idealnya berisi 1.000 ayam per hektar. Ia pun tak menampik hanya segelintir peternak saja di dunia, bahkan, yang mampu menerapkan sistem ini.
Dari ketiganya, Arya memandang free range adalah opsi terbaik untuk kondisi perunggasan di Indonesia. Biaya terjangkau dan cenderung mudah dalam pengaplikasiannya. Dalam mengembangkan free range untuk layer, selain diuji coba mandiri dalam kandang sendiri, Arya juga menggandeng Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada di sekitar Sleman untuk turut mengaplikasikannya. Tak disangka, respon dari KWT sangat luar biasa, dan mulai mampu menerapkan prosedur standar ayam layer free range yang ada.
Minimalkan Biaya dengan Pakan Mandiri
Guna memaksimalkan produksi dan profit yang didapat, Arya tidak menggunakan pakan pabrikan yang umum di pasaran. Ia memilih menggunakan pakan yang diformulasi sendiri dan tetap mengacu pada kebutuhan ayam berdasarkan standar yang ada. Pasalnya biaya pakan ini memiliki porsi 60-70 % dari total biaya produksi.
Biaya pakan yang dikeluarkan oleh Arya setidaknya sebesar Rp6.000 per kg, sementara pakan pabrikan sudah berada di kisaran Rp7.000 per kg. Jika ditotal, per ekor ayam memerlukan 120 gram pakan dalam sehari, artinya 120 kg pakan sehari untuk 1.000 ekor ayam dengan biaya sebesar Rp720.000.
Pakan yang diproduksi oleh Arya tidak diperdagangkan secara bebas. Sementara ini baru Kelompok KWT saja yang diperbolehkan untuk menggunakannya. Bukan tanpa sebab, Arya menilai KWT dapat mudah diarahkan agar mengikuti SOP yang telah dibuat, terlebih, KWT juga memiliki semangat dan nilai dasar yang sama soal free range. (RZ)